Nama Inisiator
Ainar Tri Asita
Bidang Seni
seni_pertunjukan
Pengalaman
Berkarya (tari) sejak tahun 2003 sampai sekarang
Contoh Karya
008.JPGKategori Proyek
kerjasama_kolaborasi
Deskripsi Proyek
Sosialisasi dan Dept Interview bersama Penenun yang masih ada (tersisa) di sebagian Kota Palu ataupun Donggala mengenai project kolaborasi/kerjasama antara seniman tari dan penenun. Dalam hal ini juga memberikan kepercayaan diri pada kaum perempuan (baik penenun maupun senimannya) yang telah menjadi Ibu Rumah Tangga tidak terbebani dengan profesinya saat ini dengan hadirnya anak ditengah mereka serta dibarengi keseharian mengurus rumah tangganya masing-masing namun tetap beraktivitas dan berkarya. Sekaligus, proyek ini saya harapkan akan menjadi satu wadah untuk mengenalkan kepada generasi muda khususnya perempuan bahwa karya tari ini menjadi sebuah jembatan untuk mereka melihat lebih dalam lagi bagaimana seorang perempuan penenun bergelut dengan tenunannya setiap hari demi meneruskan warisan leluhur ataupun menjadi sumber penghasilan bagi keluarga. Di beberapa wilayah (Kota Palu dan kab Donggala), kegiatan menenun ini ada yang menjadi sumber penghasilan utama dimana perempuan menjadi aktor utama dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangganya. tentunya memperkenalkan betapa kain tradisional memiliki khasanah yang tak kalah menarik dengan beragam kain tradisional lainnya di Indonesia. Serta mampu menanamkan kepada generasi muda di kota Palu secara khusus bahwa perempuan bisa menjadi pioner atau pembaharu dalam karya-karya yang dilahirkannya dan bisa menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri dimana ia mampu menjadi seorang ibu sekaligus pengkarya.
Latar Belakang Proyek
Keberadaan kain secara historis telah dikenal manusia sejak zaman prasejarah, yaitu lebih kurang 2000 tahun yang silam. Keterampilan ini ditinjau dari segi tehniknya tidak jauh berbeda dari tehnik menganyam. Pada masa ini kaum wanita yang merintis terjadinya revolusi kebudayaan dengan mengembangkan keterampilan menenun, walaupun hal ini dilakukan secara bertahap dalam proses waktu yang lama dan kemudian berhasil berkembang dalam tehnik pembuatannya. Dalam perspektif ekonomi, diharapkan kain-kain hasil karya tangan para penenun dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Dengan demikian tidak berlebihan apa bila dalam kondisi ekonomi pasar global dan industri budaya saat ini, kita berharap kain nusantara sebagai karya budaya adat yang keberadaannya telah diakui seluruh dunia itu mampu menjadi komoditi eksport yang diunggulkan. Tenun ikat Donggala sebagai salah satu untuk memenuhi kebutuhan pakaian adat keluarga maupun untuk diperjualbelikan, lamanya pekerjaan menenun relatif tidak dapat ditentukan, karena tergantung dari kapasitas individual, yakni seseorang penenun menurut kebutuhannya masing-masing. Jika di beberapa wilayah di Indonesia, menenun menjadi sebuah tradisi yang secara turun temurun hadir dalam tiap generasi kaum perempuan di masyarakatnya. Namun, lain halnya di Sulawesi Tengah khususnya di Tanah Donggala, remaja perempuannya saat ini tidak ada lagi yang mau melibatkan diri dalam tradisi menenun tersebut.
Masalah yang Diangkat
Masyarakat Kaili sangat meninggikan posisi perempuan, sehingga sarunglah yang menjadi salah satu alat pendukung utama untuk melindunginya. Sayangnya sedikit demi sedikit, anak muda masa kini sudah tak mengenal tata cara pemakaian tersebut, bahkan sarung mereka saja sudah tak mereka kenali lagi dan mereka lebih bangga menggunakan pakaian-pakaian import dengan kebanggaan tinggi. Menghadirkan pengrajin tenun Buya Sabe (penenun) yang masih tersisa menyatu dalam ruang-ruang publik agar Buya Sabe ini tetap menjadi miliki masyarakat Sulawesi Tengah sebagai salah satu bentuk perubahan manajemen keluarga masing-masing penenun tersebut, atau istilah lainnya adalah bagaimana Buya Sabe ini menjadi sektor ekonomi yang menjanjikan serta bagaimana posisi perempuan sebagai penenun menjadi salah satu pioner dalam keberlanjutan tradisi.para generasi muda memiliki rasa kebanggaan terhadap benda-benda budaya serta paham akan kebudayaan daerahnya. Belajar menenun bagi generasi muda akan menjadi mudah dan menyenangkan nantinya bagi mereka karena dihadirkan dalam ruang-ruang publik bagaimana menjadikan sarung tenun bukan hanya sebagai komoditi industri semata, namun menjadi milik dari masyarakatnya sendiri. Menumbuhkan kesadaran terhadap pentingnya peninggalan kebudayaan, memberikan kesadaran kepada generasi muda (khususnya perempuan) untuk tidak meninggalkan pekerjaan menenun ini. Karena bisa jadi 5 tahun kemudian di Sulawesi Tengah ini akan benar-benar kehabisan generasi penenun sarung
Indikator Sukses
saya sudah hampir empat tahun berbaur bersama para penenun baik yang ada di wilayah Kota Palu maupun Kab. DOnggala, pada tahun 2016 saya menginisiasi sebuah project workshop menenun khusus siswa sma yang didominasi oleh pelajar perempuan. sebenarnya jauh sebelum itu saya juga pernah melibatkan diri pada project pameran kain tenun di Museum selain dipamerkan kainnya para penenun langsung praktek dihadapan 300 siswa SD,SMP,SMA Pdi Palu. sebenarnya poin utama saya melakukan riset dan sosialisasi tentang Buya Sabe (Sarung Tenun Sutra Donggala) ini untuk kebutuhan karya tari. selain itu, saya dibantu oleh beberapa kawan di komunitas saya melakukan pendataan kembali tentang historis serta keragaman kain tenun Donggala (Buya Sabe), serta akan mengarsipkannya dalam konsep pendidikan berbasis lokalitas sebagai sebuah upaya pengarsipan warisan budaya lokal karena Komunitas tempat saya bernaung punya sebuah program Kelas Sejarah Keliling, hal ini kami lakukan karena pelajaran sejarah lokal sangat sedikit porsinya di sekolah disamping itu guru-guru yang mengajarkannya kadang tidak punya bahan bahkan tidak tahu sama sekali tentang sejarah budaya Sulawesi Tengah. BUYA SABE ini menjadi salah satu bahan pembelajaran dalam proyek di komunitas saya tersebut, agar kami tak asal memaparkan sejarah, data serta mengenalkan para penenun tersebut kepada para siswa didik kami.
Dana yang Dibutuhkan
Rp.80 Juta
Durasi Proyek
9 bulan