444 - Mawas Diri (Tolerasi)

Nama Inisiator

sri dwi wahyuni

Bidang Seni

seni_pertunjukan

Pengalaman

pertama kali pentas tari usia 5 tahun (1987). pertama kali menjadi koreografer sejak 2007. dan sejak 2011 mulai rajin melakukan riset tari.

Contoh Karya

IMG_6334.JPG

Kategori Proyek

lintasgenerasi

Deskripsi Proyek

Membincangkan Toleransi, Masyarakat Indonesia sudah akrab dalam hidup kesehariannya. Hanya politik kekuasaan sajalah yang membuat toleransi menjadi komoditas dan masyarakat pun tercerai berai. Dwi Wahyuni, melalui karya Pentas Tarinya yang berjudul Mawas Diri, berusaha keras mengangkat tema toleransi ini dengan cerita yang cukup ekstrem, yaitu Dinamika Relasi Srikandi dan Sembadra yang sama-sama Istri Arjuna. Eksplorasi yang menarik adalah pencapaian Toleransi Srikandi dan Sembadra dengan pergulatan batin dan godaannya. Karakter Panji Klana juga dimunculkan sebagai simbolisasi Neccesary Crime (Angkaran Murka yang harus ada) untuk proses menemukan keseimbangan antara Baik dan Buruk, memberi kesempatan mahluk hidup untuk jatuh, bertobat dan bangkit, kembali menjadi manusia utuh. Berkolaborasi dan Mengangkat peran Giyah Supanggah, seorang Dalang Perempuan dari Klaten yang serba bisa Dwi Wahyuni berusaha membawa penonton pada hamparan kemungkinan-kemungkinan dari terjadinya toleransi. Pakem Jawa, kebanyakan meyakini Dalang adalah dari keturunan Dalang dan kebanyakan laki-laki. Giyah hidup dan berkarya, berada dalam perlintasan Pakem ini. Giyah Supanggah dalam pementasan ini akan menjadi Dalang bagi Penari dan Pengrawit, yang kesemuanya adalah wayang bagi Giyah. Pada akhir pementasan penari dan pengrawit akan melibatkan penonton. Kekayaan Konsep Toleransi yang diperkenalkan karya ini tidak terbatas pada pementasan saja, tetapi juga interaksi antara seniman dengan penonton.

Latar Belakang Proyek

Past, Present dan Future, bagi semua sisi kehidupan orang Jawa sudah tercukupi dalam cerita Pewayangan. Karya ini tidak bisa melepaskan diri dari fakta sang Kreator adalah Orang Jawa. Dalam proses eksplorasi tema akhirnya mengambil kisah paling ekstreme yaitu Dinamika hubungan kedua Istri Arjuna yaitu Srikandi dan Sembadra. Kisah tersebut ditemui dalam lakon Srikandi Maguru Manah. Tidak bermaksud membuatnya menjadi satire, tetapi pendapat umum, perempuan selalu menjadi obyek garap rapuhnya pendirian dan tidak stabilnya mental. Dalam karya ini, justru Perempuan menjadi simbol peluang harmoni. Kerinduan akan kasih sayang dan cinta, membuat perempuan tidak hanya menjadi obyek, tetapi menjadi pelaku utama dari terciptanya situasi ini. Perjumpaan Dwi Wahyuni dengan Giyah Supanggah, menjadi pemicu utama dari terciptanya Karya Original ini. Kekayaan perjalanan hidup Giyah Supanggah menginspirasi Dwi Wahyuni untuk mengeksplorasi perjuangan perempuan dalam dunia kebudayaan masyarakat di Jawa. Bagi Dwi Wahyuni dan Giyah Supanggah, tanah Jawa adalah tanah yang Damai dan Subur. Tanah surga, yang baik senang dan sedih selalu diungkapkan dengan laku Ritual, salah satuya Gebyakan Pegelaran Seni. Dwi Wahyuni dan Giyah Supanggah sepakat untuk mengeksplorasi isu Toleransi dalam ruang Ritual melalui pagelaran drama tarinya.

Masalah yang Diangkat

Internalisasi, Sosialisasi dan Enkulturasi, 3 hal ini menjadi masalah utama yang coba diangkat dari karya ini. Bahwa Toleransi itu pemaknaannya tidak bisa sempit hanya seputaran isu SARA saja, tidak pula berada dalam pemahaman hitam putih. Toleransi membutuhkan interaksi (yang hanya bisa diperoleh dalam ruang sosialisasi) untuk mencapai pemahaman bersama. Toleransi yang digagas oleh Dwi Wahyuni adalah Toleransi yang adalah Cooperation (Gotong Royong). Toleransi bukan dimaknai sebagai sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu. Toleransi adalah proses Internalisasi kebersamaan. Kesadaran untuk hidup bersama dengan siapapun. Pernyataan bersama toleransi paling berdampak luas gaungnya melalui kebudayaan. Sehingga akhirnya Toleransi menjadi Roh dari Kebudayaan. Semua itu dibungkus oleh Dwi Wahyuni dalam Judul karyanya Yaitu Mawas Diri. Pintu Masuk untuk setiap manusia menjadi rendah hati dan bijak dewasa untuk menerima Toleransi adalah Mawas Diri. Tepa Selira dan Ngalah (Pekewuh) adalah kesadaran paling dasar untuk mawas diri. Dalam Pementasan Mawas Diri, Penonton tidak akan digiring untuk langsung berpikir tentang Toleransi. Bahkan dalam catalog sekalipun dan tembang serta narasi yang dinyanyikan Giyah Supanggah tidak akan mengucap satu katapun tentang Toleransi. Pada akhirnya, harapannya setelah mengikuti pentas Mawas Diri, dari penontonlah yang akan menyimpulkan bahwa ini menggarap isu toleransi. Akhirnya penonton diajak untuk memahami mawas diri dalam intropeksi diri.

Indikator Sukses

Pementasan berjalan dengan Lancar sesuai dengan Skenario dan Perencanaan Produksi. Masyarakat umum dan peminat khusus (seniman, mahasiswa, aktivis perempuan, aktivis toleransi / pluralism / kebhinekaan / minoritas / dsb, akademisi seni maupun sosial) menghadiri pementasan. Giyah Supanggah sang Dalang Perempuan dikenal publik dan Diulas oleh minimal 2 Media Cetak/Radio/On Line/Televisi Lokal. Pementasan diulas dalam 1 Media Cetak, 3 Media On Line, 2 Radio dan 1 Televisi Lokal setempat di Wilayah tempat pementasan. Pementasan mendapatkan respon dari Kritikus.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.271 Juta

Durasi Proyek

2 bulan