245 - Femina Sonora

Nama Inisiator

Resky Saleh

Bidang Seni

audiovisual

Pengalaman

10 tahun

Contoh Karya

The Message (trailer) a short film by Rezz (Findie Makassar).mp4

Kategori Proyek

perjalanan

Deskripsi Proyek

Femina Sonora adalah rencana perjalanan ke Kab. Mandar (Sulawesi Barat) didampingi seorang videografer untuk mengunjungi sepasang saudari Amma Satuni dan Marayama yang merupakan maestro kecapi tradisional 'terakhir'. Kunjungan ini bertujuan untuk mengumpulkan dokumentasi mengenai kisah, karya, dan pembelajaran yang ingin mereka sampaikan kepada perempuan yang memiliki minat kepada instrumen kecapi, namun tidak memiliki kesempatan untuk langsung berhadapan dengan sang maestro. Kesempatan yang mungkin tidak dimiliki oleh perempuan karena terkendala waktu, jarak, bahasa, sarana, atau restu dari orang tua/wali/pasangan. Dokumentasi yang ditargetkan oleh penulis adalah: 1) Rekaman audio 3 track (kecapi, vokal, kombinasi) format WAV 96 kHz, 24-bit; 2) Notasi musik custom untuk mewakili masing-masing nada (yang tidak disetem seperti tangga nada musik Barat); 3) Video tutorial instrumen yang akan menampilkan notasi secara sinkron dengan musik yang sedang dibunyikan; 4) Jurnal wawancara dengan kedua narasumber. Misi utama dari penyelesaian program adalah membudayakan media digital lebih dari sarana publikasi yaitu sebagai media studi dan riset, sekaligus membudayakan literasi musik sebagai metode pelestarian musik tradisional. Program ditargetkan rampung dalam 15 pekan, dengan mempekerjakan videografer, animator grafis, teknisi audio, dan ahli transkripsi musik sebagai tenaga lepas dan bukan bagian dari tim kerja.

Latar Belakang Proyek

Tumbuh sebagai perempuan yang tidak memiliki bakat tarian, penulis memiliki ketertarikan untuk bermain gendang. Itu adalah masa sebelum penulis mengenali adanya genderisasi dalam musik tradisi Sulsel (saat itu masih mencakup wilayah Sulbar), bahwa gendang adalah instrumen lelaki sedangkan perempuan lebih cocok bermain kecapi. Bagaimanapun juga, menemukan pengajar kecapi perempuan (pakacaping tobaine) bukan merupakan tugas yang mudah. Saat ini pun, Amma Satuni dan Marayama yang merupakan generasi pelopor pakacaping tobaine masih belum memiliki generasi pewaris untuk melanjutkan peran mereka. Hampir sepanjang usia mereka yang kini telah menginjak 8 dekade, Amma Satuni dan Marayama melestarikan musik kecapi melalui budaya tutur. Sayangnya, tidak semua perempuan muda yang membutuhkan pengajaran dari mereka dapat hadir untuk menerima bimbingan secara langsung. Jika di satu sisi terdapat guru yang membutuhkan murid, dan di sisi lain terdapat murid yang membutuhkan guru, artinya terdapat masalah di bagian tengah: medium. Budaya tutur memiliki nilai sakral dan akan selalu menjadi metode terbaik untuk mewariskan musik tradisi, namun kondisi modern juga menuntut solusi modern. Kehebatan media digital telah membuktikan khasiatnya dalam pembelajaran lintas jarak dan lintas waktu. Masih belum terlambat untuk merintis metode alternatif dalam pembelajaran dan pelestarian musik tradisional, khususnya bagi perempuan yang selama ini selalu kekurangan sosok panutan.

Masalah yang Diangkat

Penulis merasa sangat berterima kasih dengan banyaknya liputan majalah, koran, dan blog yang mengulas kisah hidup Amma Satuni dan Marayama, namun sekaligus merasa heran mengapa masih belum ada yang mengulas musikalitas yang telah mereka perjuangkan selama puluhan tahun. Semua pihak dengan jelas menyadari bahwa warisan budaya seperti musik pakacaping tobaine telah lama berada di ujung tanduk, namun belum ada solusi berupa langkah taktis yang tepat sasaran. Poin utamanya adalah bagaimana mengemas esensi musikal mereka dalam format yang mudah diakses oleh banyak orang, khususnya perempuan peminat musik tradisi. Tentu saja terdapat beberapa unggahan berisikan sampel permainan musik mereka, tapi itu hanya sekedar melambangkan eksistensi pakacaping tobaine. Materi yang tersedia saat ini bahkan tidak cukup untuk sekedar melestarikan, bagaimana pula dengan kepentingan lebih lanjut seperti studi dan riset? Tanpa desakan waktu sekalipun, musisi perempuan sudah hampir tidak memiliki porsi signifikan. Jika kedua maestro gagal menemukan pewaris, perempuan generasi berikutnya bisa dengan praktis berasumsi bahwa musik tradisi Sulsel dan Sulbar hanyalah untuk kaum lelaki semata. Mungkin saja, persoalan dari dan untuk perempuan yang satu ini membutuhkan solusi yang juga berasal dari pemikiran kaum perempuan.

Indikator Sukses

Mampu merampungkan dokumentasi video, audio, notasi, dan wawancara; Mendapat apresiasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat; Dipublikasikan dan mendapat ulasan positif dari media cetak/elektronik, sangat diutamakan pada segmen perempuan; Diterima sebagai bahan ajar oleh institusi pendidikan/sanggar kesenian yang memperhatikan peran perempuan dalam kebudayaan tradisional; Secara visual, mampu dipahami dan direplikasi oleh pelajar kecapi perempuan; Secara tekstual, mampu dianalisis dan memiliki potensi riset oleh akademisi musik.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.29 Juta

Durasi Proyek

4 bulan