Kategori Proyek
riset_kajian_kuratorial
Deskripsi Proyek
Saya melakukan kajian tentang Lontong Cap Go Meh , kuliner peranakan yang menjadi jejak akulturasi keragaman budaya Jawa dan Tionghoa. Kajian berupa observasi partisipasi (turut memasak di dapur warga Tionghoa), wawancara dan studi pustaka. Hasil akhir kajian ini akan saya presentasikan dalam bentuk Cooking Performance. Sebuah pertunjukan memasak hidangan Lontong Cap Go Meh dengan disertai temuan kajian dan interaksi dengan hadirin.
Latar Belakang Proyek
Lontong Cap Go Meh adalah anomali, sebuah hidangan perayaan hari besar etnis Tionghoa dengan rasa yang jauh dari kesan oriental. Saat pertama kali menyantap hidangan Lontong Cap Go Meh di kawasan Kelapa Gading Jakarta, alih-alih menikmati hidangan oriental, saya malah mendapati hidangan lontong opor ala Lebaran. Hidangan ini sama persis mulai dari lontong, kuah opor, suwiran ayam, sambal goreng ati, irisan buah labu siam hingga kerupuk. Yang membedakan hanyalah tambahan bubuk kedelai pada Lontong Cap Gomeh. Beberapa kalangan menyebutkan kuliner ini tercipta saat para imigran Tionghoa di Jawa mengalami kesulitan menyajikan hidangan saat perayaan Cap Go Meh, hari ke-15 perayaan Imlek. Hidangan Cap Go Meh aseli merupakan yuanxiao, bola-bola tepung beras. Di masa lalu, imigran Tionghoa merantau tanpa membawa kaum perempaun. Mereka menikahi perempuan Jawa, hingga terciptalah perpaduan budaya antara hidangan Jawa dan Tionghoa yang disebut hidangan peranakan. Lontong hadir menggantikan yunxiao dengan perpaduan kuah opor khas Jawa, terciptalah Lontong Cap Go Meh. Keberadaan perempuan Jawa pada masa itu rupanya turut memberikan sumbangsih bagi proses akulturasi etnis Tionghoa dengan etnis Jawa. Sebuah akulturasi yang dimulai dari wilayah domestik yaitu dapur.
Masalah yang Diangkat
Tak dapat dipungkiri, keberadaan etnis Tionghoa sejak ribuan tahun lalu memberikan sumbangsih besar dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Jejaknya tersebar dalam beragam bidang, termasuk dalam bidang kuliner. Namun demikian, keberadaan etnis ini tetap menjadi 'liyan' di sebagian besar masyarakat Indonesia. PR terbesar bangsa ini adalah: Tak henti merajut kebhinekaan yang terus menerus terkoyak oleh beragam isu SARA. Merajut kebhinekaan, sejatinya dimulai sejak hal yang paling dekat dengan diri kita. Kuliner peranakan, menjadi salah perekat itu. Paradoks yang sering berlangsung, misalnya: Kita bisa memandang sebelah mata seorang etnis Tionghoa yang duduk di sebelah seraya tetap menyantap sepotong bakpia atau semangkuk bakso. Sentimen antar ras yang kadung kuat melekat ini harus dilawan dengan cara yang sederhana, dekat dengan keseharian. Memasak di dapur rumah etnis Tionghoa menjadi salah satu cara merajut kebhinekaan itu. Hadir langsung di ranah domestik antar etnis. Saling mengenal dan bertukar pengetahuan di wilayah dapur pada hari ini merupakan rekonstruksi akulturasi yang telah berlangsung sejak lama ribuan tahun.
Indikator Sukses
Saya menilai keberhasilan proyek ini jika mendapat kesempatan terlibat memasak di di dapur salah satu warga etnis Tionghoa. Memasak bersama memiliki arti sangat luas, saya dapat menjalin komunikasi secara langsung, bertukar pengetahuan, menjalin persaudaraan hingga memupus stigma yang kadung melekat bahwa etnis Tionghoa adalah 'liyan'.
Dana yang Dibutuhkan
Rp.40 Juta
Durasi Proyek
9 bulan