1047 - Kapan Menikah?

Nama Inisiator

Arum Tresnaningtyas Dayuputri

Bidang Seni

seni_rupa

Pengalaman

5 tahun

Contoh Karya

PORTFOLIO_AUM.pdf

Kategori Proyek

kerjasama_kolaborasi

Deskripsi Proyek

Kapan Menikah adalah projek video dan fotografi yang akan melibatkan sepuluh perempuan lajang berusia 30 tahun ke atas. Saya akan riset untuk mengumpulkan cerita dan alasan mereka memilih belum/tidak menikah. Selain itu, juga menggali permasalahan yang kerap mereka temui dengan status lajang yang mereka sandang. Ini adalah proyek lanjutan. Saya sudah melakukan proyek ini dengan mengangkat cerita tentang diri saya. Saya membuat foto pelaminan seakan-akan saya menikah dengan empat pengantin pria yang berbeda-beda dan melibatkan orang tua saya dalam foto ini. Karya ini bercerita tentang sebuah percakapan relasi orang tua dan anak untuk saling mendengar dan mengerti. Hasil dari proyek ini berupa pameran yang terdiri dari video pendek durasi 10 -15 menit dan 10 karya fotografi portrait perempuan dengan cerita dan perspektifnya tentang pernikahan.

Latar Belakang Proyek

Projek ini bermula dari kegelisahan personal. Saya sering mendapat pertanyaan tentang kenapa saya belum menikah dan kapan saya akan menikah. Saya lahir dan dibesarkan di Solo, Jawa Tengah sebagai anak bungsu. Keempat kakak saya sudah menikah dan berkeluarga. Keluarga saya adalah tipikal keluarga jawa, dimana hubungan orang tua dan anak sedikit kaku. Saya jarang bisa berbicara dengan lugas kepada orang tua. Ada jarak dan kedudukan yang tidak setara. Sudah genap 10 tahun saya merantau. Ketidakhadiran saya di rumah menjadi pikiran orang tua. Proyek ini adalah proyek pulang ke rumah, menjalin hubungan kembali dengan orang tua. Percakapan ini berusaha memberi pengertian kepada mereka bahwa saya bukan tidak ingin menikah, namun belum menemukan pasangan yang sreg. Saya tidak ingin gegabah dalam memilih pasangan hidup dan tidak mau menikah hanya sekedar menuruti keinginan orang tua. Percakapan ini sampai pada titik kesepakatan bahwa kita saling memahami dan menghargai satu sama lain. Bukti dari kesepakatan tersebut adalah saya membuat sebuah skenario foto bahwa saya seakan-akan menikah dan mengajak orang tua saya dalam foto tersebut. Foto itu adalah cara saya berkomunikasi dengan orang tua dan bentuk ironi tentang kondisi saya saat ini. Saya masih melajang dan belum menikah namun saya bahagia dan baik-baik saja.

Masalah yang Diangkat

Menikah atau lajang adalah pilihan, seharusnya tidak mendapatkan sorotan negatif. Tetapi di Indonesia, harus diakui bahwa kebanyakan orang masih menganggap perkawinan sebagai bentuk keberhasilan dan kebahagiaan hidup tertinggi. Mereka yang gagal menikah di usia dua puluhan, atau memasuki usia 30-an, juga dianggap tidak berhasil dalam seluruh hidup mereka. Pada usia 20, wanita lajang mungkin lebih bahagia daripada pria lajang. Saat itu, penampilan fisik masih menawan dan kepercayaan diri akan fungsi reproduksi yang subur membuat wanita merasakan masa depan yang cerah . Namun, memasuki usia 30 tahun ke atas, ketika penampilan fisik mulai kurang menawan, lingkaran sosial semakin sempit, dan menurunnya kesuburan seiring bertambahnya usia, membuat wanita kurang percaya diri. Akibatnya, wanita yang masih lajang hingga usia 30 tahun menjadi sangat rentan, dianggap terlalu selektif memilih pasangan, terlalu memikirkan kesuksesan karir, bahkan gagal dalam pergaulan. Sebaliknya, pada pria, kemampuan bereproduksi akan cenderung sama sejak ia remaja hingga tua. Seolah-olah status lajang tidak pernah menetap padanya. Karena tidak ada batasan waktu, pria yang setelah lulus tidak langsung menikah dan fokus pada karier hingga usia 30 tahun, justru dianggap masyarakat sebagai pria yang mapan. Menikah tidak dapat terjadi atas dasar kehendak satu orang, dan memaksa diri untuk menikah hanya menciptakan kebahagiaan semu.

Indikator Sukses

Saya merasa banyak perempuan yang memiliki kegelisahan yang sama tentang pernikahan. Banyak ketakutan yang muncul karena belum/tidak menikah. Pada akhirnya, banyak perempuan memutuskan menikah karena desakan orang tua dan tekanan sosial. Pameran ini mengajak masyarakat untuk menjaga privasi dan menghormati pilihan dan keadaan orang lain terutama perempuan, tanpa meninggalkan unsur keramahan dan kolektivitas sebagai cerminan budaya kita. Saya berharap mampu membuka pikiran, memunculkan dialog kecil dan wacana baru tentang perempuan dan pernikahan. Menikah sebagai pilihan, dan bukan satu-satunya pilihan

Dana yang Dibutuhkan

Rp.200 Juta

Durasi Proyek

6 bulan