1025 - Bundo Kanduang Jauh di Mato

Nama Inisiator

Miranda

Bidang Seni

penelitian

Pengalaman

10 tahun

Contoh Karya

BBM_Miranda.jpg

Kategori Proyek

perjalanan

Deskripsi Proyek

Saya tertarik untuk menelaah keselarasan antara konsep Bundo Kanduang dan matrilineal yang dianut masyarakat Padang, dengan praksis keseharian perempuan Padang. Dalam penelitian ini, saya ingin mencari tahu, sejauh mana masyarakat Padang mengejawantahkan konsep kesetaraan gender, terutama menyangkut perempuan-perempuan yang secara sosial dipandang "tidak sempurna" (tidak menikah, tidak punya anak, atau menyandang disabilitas). Bagaimana pula para perempuan dengan pilihan dan kebutuhan yang spesifik ini dipandang, diterima, dan ditempatkan dalam suku mereka, dan dalam struktur masyarakat Minangkabau secara luas. Alur proyek terdiri dari proses penelitian literer, penelitian lapangan dengan melakukan perjalanan ke Padang dan berkolaborasi dengan periset lokal, proses mendokumentasikan hasil penelitian (produksi video), proses editing, dan finalisasi video dokumenter. Hasil penelitian ini diproyeksikan untuk diputar di hadapan khalayak Padang, dengan membuka ruang diskusi. Melalui proyek ini pula, saya berharap dapat melihat ulang diri saya dalam konteks kekaryaan. Meski dunia yang sesungguhnya saya geluti adalah tulis-menulis, sudah sejak lama saya ingin membuat karya dalam bentuk video dokumenter. Media audio-visual cenderung lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan, ketimbang buku atau dokumentasi tertulis lainnya. Hibah ini menantang saya untuk mewujudkannya.

Latar Belakang Proyek

Saya adalah perempuan kelahiran Palembang, yang mewarisi darah Padang dari kakek dan ayah saya. Dalam keluarga besar saya dari garis ibu, perempuan hampir selalu menempati posisi dominan, terutama sebagai perekat silaturahim dan tempat bertanya dalam mengambil keputusan. Di sisi lain, saya tak pernah tinggal lama di Sumatera. Sedemikian berjaraknya saya dengan asal-usul, sehingga saya selalu menahbiskan diri sebagai orang Jawa. Namun, matrilineal adalah kata yang sejak lama sudah 'nyangkut dan mengganggu benak saya. Dari sejumlah referensi permukaan yang saya telusuri, konsep matrilineal masyarakat Minangkabau sendiri tak sepenuhnya sejalan dengan gagasan kesetaraan gender yang saya bayangkan semula. Konsep kekerabatan ini menggunakan jalur ibu, menempatkan perempuan sebagai pengambil keputusan, dan memberinya kepastian hak waris (rumah) dalam keluarga, namun di sisi lain juga menerapkan nilai-nilai yang, bagi sebagian orang, seolah membatasi gerak langkah perempuan. Tatanan masyarakat Minangkabau sendiri berlandaskan pada Al-Qur'an (adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah). Persinggungan dengan teman-teman penyandang disabilitas, dan mereka yang memilih untuk tidak menikah atau belum juga punya anak (seperti saya sendiri), kemudian menimbulkan pertanyaan lanjutan. Ketika dalam persepsi masyarakat Minangkabau, perempuan senantiasa disanjung dan ditinggikan, apakah demikian pula halnya dengan perempuan yang dipandang "tidak sempurna"?

Masalah yang Diangkat

Saya ingin menelaah posisi perempuan yang secara sosial dipandang "tidak sempurna" (tidak menikah, tidak punya anak, dan/atau menyandang disabilitas) dalam struktur masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau dikenal menganut kesetaraan gender melalui konsep matrilineal dan Bundo Kanduang. Bagaimana para perempuan "tidak sempurna" ini memandang diri mereka, dan konsep Bundo Kanduang? Sebaliknya, bagaimana masyarakat Minangkabau memandang mereka? Bagaimana pula konsep Bundo Kanduang diejawantahkan dalam praksis keseharian perempuan Minangkabau, saat ini? Seperti apa masyarakat Minangkabau memaknai kesetaraan gender? Pertanyaan-pertanyaan itu yang ingin saya temukan jawabannya, melalui penelitian ini.

Indikator Sukses

Terdokumentasikannya penelitian dalam bentuk film dokumenter berdurasi 30 - 60 menit, dan dapat diaksesnya hasil penelitian oleh masyarakat dan generasi muda Padang, melalui pemutaran film yang mengundang mahasiswa, lembaga kerapatan adat Minangkabau, dan komunitas/organisasi penyandang disabilitas. Film juga akan disebarluaskan melalui kanal media sosial seperti YouTube, untuk dapat menjangkau khalayak lebih luas.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.230 Juta

Durasi Proyek

6 bulan