Pernahkan Anda mendengar seorang reporter menanyakan hal ini
“Bapak, bagaimana perasaannya rumah kena banjir?”
“Apa ada firasat rumahnya bakal hancur kena lava panas, Bu?”
Ketika ada peliputan bencana, pertanyaan seperti “bagaimana perasaannya?”, “apa ada firasat sebelumnya?” kerap kali dilontarkan kepada korban yang mengalami bencana. Tak jarang, orang yang diwawancarai menunjukkan ketidaknyamanan, tetapi reporter tetap saja menanyakan hal serupa untuk memberikan kesan dramatis bahkan memasukkan unsur mistis dalam peliputannya.
Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), peliputan bencana seharusnya tidak boleh menambah penderitaan atau pun trauma orang yang mengalaminya. Artinya, media harus objektif dalam meliput bencana dan mempertimbangkan proses pemulihan korban maupun keluarganya. Media juga dilarang menampilkan suara atau gambar korban bencana, seperti korban yang sedang kesakitan termasuk jenazah korban meninggal.
Hal yang juga penting dari peliputan bencana adalah mitigasi, yaitu bagaimana agar masyarakat (orang yang tidak terkena bencana) bersiap jika suatu saat menghadapi bencana serupa. Namun, pemberitaan media jauh dari hal itu, peliputan meletusnya Gunung Merapi pada 2010 di Yogyakarta misalnya. Kemunculan paranormal di salah satu media massa yang memprediksi akan ada letusan susulan justru membuat warga panik dan berbondong-bondong minta dipindahkan dari posko bencana. Para relawan pun kewalahan untuk menenangkan warga akibat pemberitaan tersebut.
Dalam peliputan bencana, sudah seharusnya media massa berempati kepada korban dan fokus menggali informasi demi mendukung upaya pencarian korban, pemulihan atau memberi kiat dalam menghadapi bencana. Jika ada peliputan bencana yang hanya memberikan kesan dramatis dan tidak mempertimbangkan perasaan korban, Anda bisa mengadukannya melalui Rapotivi, sebuah aplikasi Android untuk pelaporan tayangan televisi bermasalah. Pengaduan juga bisa dilakukan melalui situs Rapotivi.org.