Yohana Sudarsono, perempuan yang pernah mengajar di sekolah bertaraf internasional kini aktif membantu rekan-rekan buruh dalam mengampanyekan kasus-kasus perburuhan. Hal ini dilatarbelakangi oleh ketidakadilan yang dialaminya sewaktu menjadi pengajar di dua sekolah milik asing.
Saat menjadi asisten guru di sekolah internasional di Jakarta pada tahun 2000, Yohana tidak diberikan surat kontrak padahal sudah bekerja berbulan-bulan. Ketika bertemu dengan pihak manajemen sekolah untuk menanyakan hal tersebut, mereka justru mengatakan, “Masih untung kamu bisa kerja di sini, kalau tidak di sini mau kerja di mana lagi”.
Perlakuan tidak adil ini mencapai puncaknya saat sekolah pindah ke lokasi yang baru. Sebagai asisten guru, ia ditugaskan untuk mengepel, mengangkat barang-barang serta mengecat. Pihak sekolah tidak menyediakan petugas kebersihan dengan alasan sudah membayarnya sebagai staf. Sementara itu, staf asing justru masih menikmati liburannya saat Yohana dan staf berkebangasaan Indonesia lainnya mempersiapkan sekolah yang baru.
Yohana akhirnya memutuskan untuk keluar dari sekolah tersebut dan bekerja di sekolah internasional di Tangerang. Ternyata, perlakuan terhadapnya sama saja. “Warga lokal tetap saja menjadi warga kelas tiga yang bisa diperlakukan sesuka hati, warga lokal menjadi kacung di negeri sendiri”, tegasnya.
Setelah 9 bulan bekerja, tiba-tiba pihak sekolah memutuskan kontrak tanpa alasan yang jelas. Pemutusan kerja ini terjadi seminggu setelah ia menjadi anggota serikat. Yohana tidak tinggal diam, ia melakukan perlawanan dengan membawa kasusnya ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sayangnya, pengadilan membenarkan pemutusan kontrak tersebut sebagai hak perusahaan. Ia pun melakukan kasasi ke MA, tetapi hasilnya sama saja.
Sebenarnya ia sudah menduga hasil tersebut. Melihat posisi sekolah internasional yang besar dan didampingi pasukan pengacara, mustahil untuk memenangkan kasus ini. Akan tetapi, menurutnya perlawanan adalah langkah memberi pelajaran kepada pemilik usaha bahwa mereka tidak boleh memperlakukan pekerja (orang Indonesia) semaunya.
Kalau pun harus kalah, ia tidak akan kalah tanpa melawan. “Menang dalam sebuah perjuangan itu satu hal, tetapi memulai sebuah perlawanan dan menyetiainya sampai akhir adalah sebuah kemenangan dengan sendirinya”, tutur Yohana.