Dian Septi Trisnanti dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) berkesempatan mengikuti International Summer School yang ditujukan bagi aktivis buruh internasional pada Juli 2014 di Manchester. Di sana, ia menceritakan kondisi buruh di Indonesia, terutama buruh perempuan. Ternyata peserta yang sebagian besar berasal dari Eropa tidak tahu bagaimana kondisi buruh di Indonesia. Menurut Dian, terdapat perbedaan yang besar antara buruh di Indonesia dengan buruh di Inggris. Berikut penjelasannya
Keberadaan serikat buruh
Buruh di Inggris hanya memiliki satu serikat yang mapan dan dikelola secara profesional. Hal ini berkebalikan dengan Indonesia yang memiliki banyak serikat buruh, salah satunya FBLP.
Tuntutan buruh
Semenjak krisis ekonomi pada tahun 2008, buruh di Inggris menolak pencabutan subsidi (libur dikurangi, bonus dikurangi dan masa pensiun diperpanjang menjadi 60 tahun). Mereka menginginkan jam kerja yang lebih pendek, libur lebih panjang serta mengembalikan masa pensiun pada usia 55 (perempuan) dan 58 (laki-laki). Pemerintah Inggris ingin masa kerja diperpanjang agar tidak perlu memberi uang pensiun lebih awal. Ini menghemat biaya karena tidak perlu memberikan transportasi gratis dan tunjangan tiap bulannya. Di Indonesia, buruh masih mengalami penindasan primitif, seperti upah dan lembur yang tidak dibayar sedangkan penindasan seperti itu di Inggris terjadi 200 tahun yang lalu saat revolusi industri.
Status pekerja dan tempat bekerja
Pekerja kontrak di Inggris hanya diperuntukkan bagi staf atau pekerja ahli saja, bukan pekerja yang terjun langsung dalam produksi inti. Selain itu, sebagian besar buruh bekerja di sektor jasa, seperti di restoran dan pusat perbelanjaan. Sangat sedikit yang bekerja di pabrik karena Inggris membangun pabrik di negara-negara berkembang. Sementara itu, sistem kerja kontrak di Indonesia masih diterapkan bagi pekerja inti dan sebagian besar dari mereka bekerja di pabrik.