Saya akan memulai tulisan ini dengan beberapa pertanyaan yang mungkin ada di kepala anda. Mengapa project ini lahir? Apa latar belakangnya? Apa visinya? Mengapa harus terjadi? Apa dampaknya? Apa sasarannya? Ini adalah catatan pertama saya dari sekian catatan yang saya rancang. Sepanjang proses pemanggungan project ini.
Sejak awal sekali, project ini diniatkan sebagai project ruang dengar bagi perempuan, utamanya bagi ibu. Di tengah kebisingan dunia saat ini, hiruk pikuk berbagai isu yang bersliweran di kepala kita, yang lebih banyak menjadi sampah pikiran, masihkah ada waktu mendengarkan orang lain? Ketika berbicara soal ‘mendengarkan’, dan bukan sekadar mendengar, berarti ada proses panjang disana. Di dalam ‘mendengarkan’ ada proses menyimak, menginterpretasi, menganalisis, mengecek kembali, mengetahui, mempertanyakan kembali, dan akhirnya mengapresiasi. Proses ‘mendengarkan’ itu terkadang sangat sulit, sebab pikiran kita sendiri bising dengan suara-suara yang hiruk pikuk dan dikendalikan ego, sehingga kita abai dan tidak mau ‘mendengarkan’. Apalagi dengan kemudahan berkomunikasi saat ini, kita terjebak pada ide bahwa kitalah satu-satunya yang perlu didengar, diketahui persoalannya, dan dibantu. Kita jarang punya waktu bagi orang lain. Kita jarang percaya pada orang lain. Kita hidup dalam gaung suara yang diciptakan pikiran-pikiran kita sendiri. Dalam kondisi pikiran chaos seperti itu, sekali lagi masihkah ada waktu ‘mendengarkan’ suara perempuan, suara ibu?
Saya sadar, seni adalah saluran yang sangat penting untuk menyuarakan perempuan, khususnya melalui karya sastra dan teater, karena disana saya belajar mendengarkan. Bahkan menulis cerpenpun, kadang butuh riset selama beberapa tahun. Artinya tidak ada yang instan. Semua berproses dalam diam yang bergerak. Gerak yang lambat namun berisi. Lalu ketika hibah ini diumumkan, kebetulan ada sebuah pemantik peristiwa yaitu seorang ibu di Bali yang membunuh ketiga anaknya dengan racun serangga. Saya tersentak. Apa yang terjadi sebelumnya? Latar apa yang membuat itu terjadi? Dimana masyarakat? Bagaimana peran lingkungan terdekatnya? Mengapa dan mengapa. Inilah yang akhirnya menyeret saya pada satu soal di antara soal-soal lainnya, perempuan butuh didengarkan. Kebutuhan ini juga harus disertai pihak yang bersedia mendengarkan. Apakah semua sudah terlambat? Dalam konteks project ini, justru semua baru saja dimulai. Project mendengarkan dan didengarkan.
Mengapa 11 ibu? Mengapa bukan 1, 2, atau 3? Saya memahami bahwa 11 bukanlah sekadar angka. Ada 1 dan 1. Angka kembar. Angka yang sangat filosofis. Satu tidak akan ada tanpa satu lainnya. Satu satu (sebelas) bukanlah angka terpisah namun satu kesatuan. Sebelas adalah simbol per’satu’an. Sebelas adalah penjuru mata angin di tubuh kita, sebelas adalah saluran tubuh sebagai pusat energi maha besar. Sebelas adalah kekuatan. Ibu adalah kekuatan. Sebelas ibu adalah simbol sebelas pusat energi yang berpusat pada mikrokosmos atau micro universe (tubuh) kita. Tanpa satu saluran energi, sepuluh energi lain meredup. Itulah yang menggerakkan kita. Sebelas kekuatan penuh, yang saling melengkapi.
Lalu saya mulai membuat sketsa tulisan, mereka naskah, dan membayangkan akan membuat sebuah project mendengar bagi perempuan melalui teater. Ide sederhananya, ibu rumah tangga biasa perlu didengarkan kisahnya, perlu dipanggungkan dan perlu audiens. Secara sederhana begitulah teater bekerja. Ada pelaku, ada ruang, ada peristiwa, dan terjadi secara ‘live’, langsung. Secara kebetulan saat itu sekira bulan Februari saya melihat ada peluang hibah Cipta Media Ekspresi dari Ford Foundation. Saya mulai menggarap proposal dengan serius. Untuk risetnya saya sudah punya modal, beberapa ibu yang saya libatkan sudah saya anggap ibu sendiri, yang kisahnya lebih mirip novel daripada kisah hidup sendiri. Lalu visinya apa, visinya adalah di balik sebuah cerita ada sebuah upaya untuk mengambil pelajaran di baliknya, ada upaya mengapresiasi dan ada upaya menginterpretasi dan merefleksi. Disini saja, sesungguhnya sudah cukup. Bukankah perempuan merasa selesai ketika didengarkan? Selanjutnya mereka akan terus berjalan dengan keputusan sendiri. Jadi kebutuhannya adalah pada didengarkan. Lalu siapa yang mendengarkan? Kita. Audiens.
Saya pun mulai mewawancarai sebelas ibu dalam project ini. Bekal saya adalah riset selama beberapa tahun, bahkan puluhan tahun terhadap ibu-ibu yang saya libatkan. Merekam, mempelajari, menganalisis, menginterpretasi. Akhirnya membuat rancangan proposal yang berisi pokok pikiran dan rencana saya. 21 April 2018, ketika proposal saya dinyatakan lolos, mulailah proses yang lebih tertata dan sistematis. Sebab kali ini teater rancangan saya dinamai teater dokumenter. Sebuah istilah yang baru saya ketahui, padahal sudah saya lakukan. Saya setuju bahwa teater dokumenter adalah sebuah representasi yang benar dalam konteks project ini sebab teater adalah proses mendokumentasikan gagasan, pikiran dan visi. Menuju langkah berikutnya.
Mengumpulkan 11 ibu dalam sebuah project tentulah tak mudah. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Ada tukang batu, pembantu rumah tangga, guru, seniman, pembaca tarot, PNS, bidan senior, hingga profesor. Kesibukan mereka nyata. Isu mereka juga nyata. Mereka bukan artis. Mereka ibu. Mereka pekerja. Mereka pencari nafkah keluarga. Mereka pusat penciptaan di keluarga. Dalam konteks project ini apakah mereka mau bercerita, membagikan kisah mereka, dan menjadi ‘aktor’ di panggung mereka sendiri?
Mungkin karena pendekatan yang saya gunakan adalah pendekatan persahabatan, bahkan beberapa ibu adalah ibu saya di dunia akademik dan dunia kreatif, maka itu tidak sulit. Namun ada beberapa ibu yang baru beberapa bulan saja saya kenal, misalnya ibu yang tukang batu dan ibu penyandang tuna rungu wicara yang pembantu rumah tangga. Mereka awalnya memang canggung, namun seiring waktu mereka mulai percaya pada visi saya, bahwa project ini adalah project berbagi inspirasi. Tantangan lain tentu saja soal komitmen waktu.
Kesibukan tukang batu tentu berbeda dengan kesibukan profesor. Kesibukan pembaca tarot tentu berbeda dengan kesibukan guru. Kesibukan seniman tentu berbeda juga dengan kesibukan bidan senior. Nah inilah seni menggarap project ini. Saya siap menjalaninya sebab sebagai produser, penulis naskah dan sutradara project, sayalah otaknya sekaligus kaki tangannya. Yang pertama berdamai dengan waktu tentulah diri saya sendiri. Padahal sayapun ibu, sayapun punya isu. Sayapun perlu antar jemput anak, perlu memasak, perlu ke kampus, mengerjakan tanggung jawab akademik, membuat evaluasi, dan sebagai penulis saya punya pernak pernik lainnya. Belum lagi isu menjadi pemimpin di komunitas dengan segenap programnya. Dan tetek bengek lainnya. Apakah semua chaos akan berakhir pada chaos?
Saat chaos terjadi, saya cepat terjaga lalu saya mengandalkan intuisi. Saya mengedepankan proses mendengarkan suara hati nurani. Mana yang prioritas. Akhirnya saya harus memilih dan memilah. Dan jadilah semua bekerja seiringan. Saya mulai membuat naskah, mewawancarai kembali, menggali kembali. Saya mulai membuat alur, memutuskan presentasi satu bingkai cerita dari ribuan cerita yang dimiliki para ibu. Sulitkah? Tentu saja. Cerita mereka adalah cerita hidup yang kompleks. Ribuan bingkai dan ribuan plot. Saya harus membidik satu bingkai dan menceritakannya kembali. Inilah tantangannya. Kami berkumpul, saling mendengarkan. Ada air mata dimana-mana. Satu ibu bercerita, ibu lain tersedu-sedu. Kali lain, satu ibu bercerita, yang lain terpaku, shocked. Mengapa dia bisa bertahan. Oh ternyata masalahku tidak seberat masalahnya, oh ternyata hidupku lebih ringan, oh ternyata.
Dari sanalah proses itu terjadi, belajar mendengar, dan belajar menempatkan diri pada situasi orang lain, belajar memahami, jika saya adalah dia, mampukah saya? Dengan demikian terjadi proses merefleksi, oh ternyata saya kurang bersyukur dengan yang saya miliki. Muncullah sebuah penerimaan bahwa satu proses berpikir di dalam menentukan perspektif persoalan. Dari perspektif berbeda, persoalan bisa menjadi lebih ringan atau lebih berat. Dan akhirnya semua sangat relatif. Lalu mereka bisa menjalin trust, kepercayaan untuk dasar mendengarkan dan didengarkan. Tanpa dasar kepercayaan, rasanya mustahil project ini berjalan.
Lalu masuklah saya pada proses menulis naskah. Menulis naskah teater dokumenter adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan menulis naskah fiksi seperti yang biasanya saya lakukan. Urutan dalam teater dokumenter adalah urutan peristiwa yang kronologis secara waktu dan secara psikologis. Saya meyakini bahwa kesalahan membuat naskah sedikit saja, sangat mungkin merugikan sang ibu secara psikis. Jadi dengan sangat hati-hati saya mencoba menuliskan kembali apa yang mereka alami. Saya menjadi mereka. Saya menyelami pikiran mereka. Dan ketika itu terjadi, sayapun sangat emosional. Saya sangat subyektif, saya sangat membela mereka. Saya seperti menjelma sebelas ibu-ibu ini. Saya seperti meminjam jiwa mereka untuk menceritakan kembali. Saya perlu waktu. Dan saya perlu sunyi. Namun sekali lagi, bingkai project ini jelas. Ini adalah teater dokumenter, saya adalah katalisatornya. Ketika saya berlarat larat hanyut, saya bangkit lagi, mencoba lagi dengan obyektif menulis.
Satu naskah pertama yang saya selesaikan adalah naskah Ibu Erna Dewi. Naskah ini sangat menguras emosi saya. Saya ingat betul menulis naskah dini hari sekitar jam 2 – 3 dini hari hingga jam 5. Air mata saya tak henti mengalir. Meskipun saya mencoba obyektif. Meskipun saya mencoba mendinginkan hati. Tetap terjadi.
Ibu Erna adalah studi kasus yang baik soal ibu yang kuat bertahan dalam cobaan rumah tangga yang begitu dinamis. Ketika saya tarik ke belakang, ternyata ia punya figur ibu yang kuat di masa kecil. Ada pula trauma masa kecil yang alih-alih menjadikannya lemah, justru membuatnya seperti baja. Ada luka masa kecil yang dibawa, terus hingga kini. Itulah objek garapan saya.
Dari sana saya berjalan merangkai peristiwa hingga ia lahir menjadi perempuan baja. Saya menulisnya dengan jiwa saya. Ketika naskah selesai, Ibu Erna membaca. Kali ini ia yang menangis. Bahkan setiap latihan. Bahkan setiap ia membaca ulang. Apakah ia masih trauma?
Mentor project ini Naomi Skrikandi, salah seorang putri dramawan WS. Rendra, sempat melihat proses kami. Beliau sangat memahami bahwa histeria membaca naskah dokumentasi hidup sendiri memang sulit. Sang aktor sulit melepaskan diri bahwa dia adalah subjek dalam naskah, dia adalah si tokoh yang menjadi pusat cerita. Dia terlibat sangat dalam. Dan sulit lepas. Itulah sumber histerianya. Namun dalam bingkai teater, subyektifitas harus diletakkan sebagaimana mestinya. Ketika sang ibu sudah menjadi aktor, dia harus mendudukkan naskah dengan ‘humble’. Rendah hati. Menghormati naskah, tidak superior terhadap naskah. Dia harus meletakkan sisi dirinya di bagian lain. Hanya dengan begitu, sebuah jarak estetika terjaga.
Lalu apakah mudah menciptakan jarak itu? Itulah tantangannya.
Sejak awal, ibu yang terlibat disini bukanlah aktor teater. Membaca naskah bisa jadi adalah sekali seumur hidupnya. Nah kini naskah teater itu adalah tentang dirinya. Sekarang disuruh meletakkan diri jauh-jauh agar obyektif. Saya sebagai sutradara memahami kesulitannya. Memaksakan diri bukanlah pilihan di project ini. Berkomunikasi adalah kuncinya. Saya beri pemahaman. Bahwa naskah adalah bayangan di cermin. Apa yang dilihat adalah bayangan. Bukan diri mereka sendiri. Cermin adalah batas. Dan diri mereka sesungguhnya kini sudah berjarak dengan diri mereka yang dulu. Saya bangkitkan daya kritis mereka dengan memancing pertanyaan, apakah ini saya, mengapa saya demikian, untuk apa.
Dalam kasus Ibu Erna Dewi, memang cukup sulit menciptakan jarak itu, karena begitu lekatnya dia dengan masa lalu. Dia mengakui bahwa lukanya belum sembuh benar, sehingga ketika latihan ia merasa terapi pelepasan energi terjadi. Ia bisa berteriak dan menangis. Namun sekali lagi betapapun sulitnya, seorang aktor harus berjalan lurus. Dia adalah penyampai cerita. Disini Ibu Erna sangat menghargai proses mendengarkan baik arahan mentor maupun dari saya sendiri sebagai sutradara. Perlahan ia mulai menghargai jarak dan mulai belajar menjadi aktor.
Menggarap rumah menjadi panggung adalah isu berikutnya. Rumah, ketika menjadi panggung tentulah punya isu tersendiri. Rumah adalah tempat komunal dimana seluruh kegiatan keluarga terpusat. Penyikapan saya adalah mensiasati ruang menjadi representasi naskah. Secara natural rumah juga tidak disikapi dengan membuat panggung di rumah atau memanggungkan rumah, tapi hanya latar peristiwa yang bisa jadi bukan latar fisik semata, namun latar kronologis dan psikologis. Jadilah saya memutar otak memanfaatkan ruang sebagai panggung. Saya mengambil keputusan bermain di ruang tengah yang terdiri dari dapur dan ruang tamu, dan area tangga, juga toilet di bawah tangga. Secara simbolis sudah lengkap sesuai kebutuhan naskah, ada tangga simbol naik turunnya irama hidup, ada dapur sebagai simbol ruang dimana rasa lapar dijaga dan dituntaskan yang menjadi pemantik cerita. Ada toilet dimana simbol semua energi bisa ditumpahkan. Lau ada sofa merah sebagai simbol lorong waktu penghubung tokoh dengan ibunya. Dan tentu saja ada kartu kartu, yang menjadi kekuatan tokoh. Klimaksnya adalah rasa lapar akan rasa ingin tahu, yang menjadikan kita manusia, yang mendamaikan kita. Menjadikan kita terjaga. Selalu.
Lalu dimana audiens. Audiens ditempatkan sebagai subyek pula. Audiens adalah latar psikologis manusia masa kini, yang sibuk, yang hiruk pikuk, yang kadang kikuk bahkan dengan dirinya sendiri. Makna audiens adalah menjadi saksi, menjadi ‘agent of discourse’. Karena teater adalah teks, maka kelak diharapkan pembaca teks akan membawa wacana.
Demikian catatan saya. Bicara soal dampak, pengaruh, sasaran, semua saya serahkan kembali ke audiens. Saya punya rencana, namun kali ini biarkan telinga dan hati Anda yang mau mendengar yang menjawabnya. Pada intinya, catatan ini saya buat untuk Anda yang ingin mengetahui proses terjadinya teater dokumenter. Dan ini hanyalah catatan awal. Rasa lapar pada proses di balik setiap peristiwa tentu masih terus terjaga, dan harus dijaga.