(Mama) Aleta Ba’un: Perempuan, Alam, dan Tenun



mama aleta

Perempuan yang lahir di Sa’u, Nusa Tenggara Timur pada 16 Maret 1965 tidak ingat kapan tepatnya ia dipanggil “Mama”, sejauh ingatannya, ia telah dipanggil “Mama” sejak masih bujang pada tahun 1980an. Panggilan mama melekat padanya karena ia sering mengumpulkan orang, yang merupakan hobi sejak dari kecil, mulai dari bermain hingga bekerja sambil bermain. Mama Aleta juga mengajak kawan-kawan untuk membersihkan ladang dan belajar menanam. “Cita-cita saya adalah melayani orang, selalu yang mengajak orang, yang memimpin, karena masih kecil tidak bisa membedakan mana yang jahat mana yang tidak, kadang memimpin untuk kebaikan, juga kenakalan. Memimpin anak-anak bermain di hutan, bermain ayunan, nah dulu kan tidak ada tali, kita harus pake tali hutan. Kadang-kadang saya potong tali hutan itu supaya anak-anak jatoh.” Kenangnya sambil tertawa.

Alam membawa kesan penting yang tak terlupakan untuk Mama Aleta, saat bermain bola, tidak ada bola, mereka bermain dengan jeruk, memanfaatkan yang ada. Jamur yang tidak bisa dimakan, diambil dan digunakan untuk belajar memotong motong. Walaupun bukan orang kaya Mama mengaku masa kecil bahagia karena bersentuhan langsung dengan alam. Anak ketujuh dari delapan bersaudara, mengenang masa kecilnya gemar bermain di hutan di Mollo, sekitar 16km dari Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. “Orang tua saya petani asli, kalau saya pulang SD bersama teman - teman kegiatan saya mengambil kayu api, mencari ternak peliharaan karena disana ternak itu dilepas jadi kami harus mengumpulkan sapi untuk kami bawa pulang ke kandang. Kami juga harus mengarahkan kuda bagaimana supaya bisa ke air, dan bisa pergi ke mana-mana. Main disungai, berenang di air tawar, tangkap-tangkap ikan kecil, dimakan. Terus bermain lumpur, membuat boneka dari lumpur, membuat macem-macem..”

Untuk Mama Aleta kehidupan dengan alam mulai berubah di tahun 1980an. Pemerintah kabupaten mengeluarkan izin kepada perusahaan pertambangan untuk memotong batu marmer dari pegunungan di Mollo, kampung dimana Mama Aleta tinggal. Ijin ini dilakukan ilegal tanpa berkonsultasi dengan penduduk desa setempat, ijin dari penduduk dianggap hambatan bagi program pembangunan. Penggundulan hutan dan pertambangan mengakibatkan tanah longsor, air tercemar, dan membawa kesulitan besar bagi penduduk desa yang tinggal di hilir.

Perasaannya tergugah saat menyadari lingkungan yang ia kenal saat ia besar, hilang. “Gimana ini (lingkungan), bisa kapan dia balik lagi (seperti semula)?” Sadar bahwa lingkungannya tak akan kembali seperti semula, Mama Aleta mulai kesal. “Wah sesuatu yang hilang nggak mungkin dia kembali. Kalo dia kembali pun tidak mungkin seperti yang lalu. Saya kecewa, ini ada yang tidak beres.” Tukasnya. Gayung bersambut pemikiran mengenai alam juga dirasakan oleh orang lain, orang demi orang didekati diajak diskusi, memberi contoh, dan mengajak mereka kembali melihat kampung. “Saya memutuskan untuk membela lingkungan. Saya menyesal karena itu tempat bermain saya, kapan saya bisa temukan lagi? Tidak bisa, sekarang tidak ada, hilang. Perlu ada sesuatu pembelaan.” Sejak SMA ia giat mengumpulkan orang dan berdiskusi mengenai lingkungan yang hilang, Mama Aleta dikecilkan oleh orang-orang yang dilawannya dengan, “Bukan sarjana, hanya lulusan SMA.” Namun Mama Aleta tidak gentar, dan membalas, “Namun mengapa orang-orang berpendidikan tinggi malah menyengsarakan orang, dan bukan mensejahterakan?” Ujarnya.

Gimana ini (lingkungan), kapan bisa dia balik lagi (seperti semula)? Mengapa orang-orang berpendidikan tinggi malah menyengsarakan orang, dan bukan mensejahterakan?

Membawa pesan dan mengingatkan bagi orang Timor bahwa batu adalah tulang, air adalah darah, tanah adalah daging, dan hutan adalah pori-pori karena itu alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Mollo. “Mereka waktu itu mengambil batu marmer, kan di sana daerah pegunungn. Kalau misalnya ga ada pegunungan yang harus membentangi karena ketinggian, anginnya tinggi, dan tidak bukit yang membenangi angin, masyarakat tidak mungkin hidup di situ karena angin kencang. Tanaman pangan juga idak jadi.” Aleta Baun melanjutkan dengan angin yang lebih kencang juga berakibat pada suhu karena banya pohon rubuh. Untuk masyarakat Timor, nama-nama berasal dari batu, termasuk bahasa lokal adalah Peka nama. Batu juga merupakan tempat penampungan air, karena diatas batu bisa tumbuh pohon-pohon dan saat hujan, air masuk ke dalam tanah dan keluar melalui sumber mata air melalui batu. “Nama-nama dahulu diambil dari batu, saat orang belum beragama, belum punya gereja, orang selalu sembahyang kepada batu-batu, kenapa? Bukan karena mereka menyembah batu itu, tapi itu adalah tempat penghubung antara manusia, Tuhan, dan kehidupan. Itulah yang diyakini masyarakat adat dan mereka mengatakan hal tersebut sebagai budaya. Sehingga bagi masyarakat adat, batu itu hidup, bukan batu itu mati.

Kelompok Mama Aleta berjalan kaki dari satu desa terpencil ke desa lain dan memakan waktu hingga enam jam perjalanan. Mama Aleta pun menjadi sasaran kepentingan pertambangan dan pemerintah daerah, termasuk adanya usaha pembunuhan, dan warga desa yang ditangkap dan dipukuli. Walaupun diintimidasi, Mama Aleta berhasil mengembangkan gerakan dengan mengorganisir ratusan penduduk, puncaknya adalah saat 150 perempuan menduduki pintu masuk tambang batu marmer dan menenun dengan tenang sebagai aksi protes. Para pria memberikan dukungan dalam rumah tangga di rumah, memasak, membersihkan dan merawat anak-anak.

Mama Aleta sempat belajar di Sanggar Perempuan, dan kemudian membangun Lembaga Masyarkat Adat dengan tokoh masyarakat dan tokoh adat. Saat dibangun, mereka mulai melawan petinggi dan pemerintah. Namun pengorganisasian terhadap masyarakat memakan pengorbanan yang banyak, termasuk keluarga, “Anak saya ada tiga, laki-laki satu, perempuan dua. Dengan suami, sempat pecah, karena dalam perjuangan keluarga dari suami tidak mendukung dikarenakan perjuangan menuntut saya meningalkan rumah lama untuk berjuang. Pada akhirnya kita menang, ya kembali lagi akur. “

Aleta Baun memutuskan untuk sekolah, ia khawatir orang beranggapan dirinya dengan pendidikan SMA dianggap tidak punya pengalaman apa-apa. Selain itu ia ingin belajar tentang apa isi dari undang-undang, izin-izin yang dilakukan pemerintah terhadap kerusakan lingkungan dan kehancuran kebudayaan. Aleta Baun memilih jurusan hukum, keputusan itu menjadi perjuangan sendiri karena banyak perlawanan terjadi di Universitas dimana ia menuntut ilmu, dosennya adalah pengacara Bupati dan melawannya, ia dikucilkan dari perkuliahan dan terpaksa pindah ke Tritunggal Surabaya. “Kuliah jarak jauh, tatap muka sebulan sekali, atau 6 bulan sekali.” Selain intimidasi Mama Aleta juga mulai menghadapi biaya kuliah dan transportasi yang mulai mengurungnya dengan hutang yang menggunung,”Saat itu memang betul-betul saya banyak utang, biaya kuliah, 3 semester setelah kasus selesai baru saya bisa lunasi. Setelah perjuangan di tahun 2010 Mama Aleta mendapat penghargaan dari RCTI untuk lingkungan, “Uangnya cuman dua juta, saat itu sudah besar untuk saya, saya gunakan untuk bayar kuliah.”

Mama Aleta melanjutkan perjuangannya dengan menampik kata-kata orang yang mengatakan ia bodoh dan tidak sekolah. “Bagi manusia yang rakus akan uang, mereka tidak pikir latar belakang dan budaya, mereka ini berbeda berpikirnya. Saat kita mau tutup tambang, yang dipentingkan uang.” Perjuangan Mama Aleta berlanjut dengan berupaya belajar mengembalikan kehidupan masyarakatnya kembali pada kekayaan alam, struktur lembaga adat dan budaya. Dalam perjuangan sumber daya alam, perempuan tidak boleh dilupakan. “Perempuan itu adalah ibu, ibu itu adalah bumi, maka itu adalah surga. Dia yang mengurus pangan, urusan dalam rumah, bersentuhan dengan buah, sayur, sumber air, kayu api, dan lainnya. Berbicara kekayaan alam berarti bicara tentang kebutuhan kaum perempuan, kerusakannya adalah kerusakan kaum perempuan. Ketika dia diberi kehidupan, dia harus menjaga karena alam yang hidup itu bagian dari kehidupan. Tidak bisa bumi ini ada dimana, dan kita senaknya, semena-mena. Saat bumi disakiti, akan ada bencana di mana-mana.”

Mama Aleta mengingatkan bahwa perjuangan itu tidak pernah singkat, perjuangannya panjang mulai dari 1996 sampai 2011. Dimulai dari mengupayakan agar perempuan berlatih, meyakinkan perempuan untuk berjuang, meyakinkan orang bahwa perjuangan itu adalah satu-satunya jalan kembali ke kebudayaan. “Hukum kita ada dua, hukum adat dan hukum negara. Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum adat. Karena itu kita harus juga kembali ke hukum adat, dan tidak hanya hukum Indonesia, yang diadopsi dalam kehidupan sehari-hari,” sambungnya.

Mama Aleta mengerti bahwa perjuangan memulihkan alam adalah perjuangan yangs sangat panjang, namun upaya yang panjang ini dirasa sangat berarti dan memberi nilai tambah untuk hidupnya, “ Satu hal yang saya tidak lupa, lewat perjuangan itu bisa mengubah pikiran banyak orang yang kacau dan mengacaukan bumi, keberhasilan mengubah pikiran orang itu adalah sesuatu yang (meng)gembira(kan) dalam hati.” Kini Aleta Baun adalah anggota DPR Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai perwakilan dari PKB. “Ketika PKB mempertahankan lingkungan, maka saya senang bergabung di PKB. Dan say abilang di tempat itu nyaman untuk bisa menyebarkan lingkungan. Ketika orang menyebut bahwa di PKB itu nyaman tidak saja berbicara tentang agama, tetapi bagaimana NU mempertahankan kebersamaan dalam beragam. Itu saya senang.” Aleta Baun mendaftar ke PKB dan membawa dua hal yang sangat penting, lingkungan lingkungan dan membuat daerah tenang dengan melihat kebersamaan dalam kehidupan.

Satu saja yang membuat saya terinspiurasi adalah kekayaan alam. Jadi bukan manusia. Itu paling saya akagumi, dimana orang punya alam yang indah, saya bangga.

Saat ditanya mengenai idola, Mama Aleta menjawab sulit, “Jokowi, dan satu lagi Noer Fauzi Rahman.” Sementara saat ditanya mengenai inspirasi, Mama Aleta menjawab pasti, alam dan leluhur memberikan kita inspirasi,”Satu saja yang membuat saya terinspiurasi adalah kekayaan alam. Jadi bukan manusia. Itu paling saya akagumi, dimana orang punya alam yang indah, saya bangga.”

Sumber: Aleta Baun. Wawancara oleh Ayu Larasati, Jakarta, 4 November 2017. Disunting oleh Siska Doviana.

Tags: